Kitab Hakim-hakim mencatat periode setelah kematian Yosua hingga sebelum kerajaan Israel, menyoroti siklus dosa, penindasan, pertobatan, pembebasan, dan kedamaian. Para hakim yang diangkat Tuhan, seperti Gideon dan Simson, menunjukkan bahwa Tuhan dapat menggunakan individu dengan kelemahan untuk mencapai rencana-Nya. Kitab ini juga menggambarkan kemerosotan moral dan spiritual Israel ketika hidup tanpa kepemimpinan yang benar, berakhir dengan kesimpulan bahwa tanpa Tuhan sebagai Raja, Israel jatuh ke dalam kekacauan dan kehancuran moral.
Kitab Hakim-hakim adalah jembatan krusial dalam sejarah Israel, mencatat periode setelah kematian Yosua dan sebelum bangsa itu memiliki raja pertama. Ini adalah masa yang penuh gejolak, ditandai oleh ketidakstabilan politik, sosial, dan yang terpenting, spiritual. Nama kitab ini merujuk pada para "Hakim" (bahasa Ibrani: Shofetim), yang bukanlah hakim pengadilan modern, melainkan pemimpin karismatik yang diutus oleh Tuhan secara spesifik untuk membebaskan umat Israel dari penindasan bangsa-bangsa lain. Para hakim yang diangkat Tuhan bukanlah tokoh-tokoh suci tanpa cela. Gideon adalah seorang penakut, Yefta membuat sumpah yang tragis, dan Simson dikuasai oleh nafsunya. Ini menunjukkan bahwa Tuhan dapat memakai siapa saja, terlepas dari kelemahan mereka, untuk menggenapi rencana-Nya.
Peristiwa dalam kitab ini mencakup sekitar 300-400 tahun, dari setelah kematian Yosua hingga menjelang era kerajaan yang dipimpin oleh Samuel dan Saul.
Pola utama yang menjadi tulang punggung seluruh kitab ini adalah sebuah siklus tragis yang terus berulang:
Dosa: Bangsa Israel melupakan Tuhan dan mulai menyembah berhala dewa-dewi bangsa Kanaan (seperti Baal dan Asytoret).
Penindasan: Tuhan membiarkan mereka ditindas oleh bangsa-bangsa tetangga sebagai bentuk disiplin.
Pertobatan: Dalam penderitaan, bangsa Israel berseru kepada Tuhan dan memohon pertolongan.
Pembebasan: Tuhan membangkitkan seorang hakim untuk memimpin dan menyelamatkan mereka.
Kedamaian: Selama hakim itu hidup, bangsa Israel menikmati masa damai. Namun setelah hakim itu wafat, mereka kembali jatuh ke dalam dosa, dan siklus pun dimulai lagi, seringkali dalam kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya.
Kitab ini secara gamblang menunjukkan konsekuensi dari ketidaktaatan dan anarki spiritual, yang puncaknya dirangkum dalam kalimat penutupnya: "Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri."
Alur Cerita Naratif Kitab Hakim-hakim
Bagian Awal: Kegagalan Menaklukkan Sepenuhnya (Pasal 1-2)
Setelah Yosua wafat, semangat penaklukan tanah Kanaan memudar. Suku-suku Israel gagal mengusir sepenuhnya bangsa-bangsa Kanaan dari wilayah yang telah Tuhan janjikan. Mereka justru berkompromi, membiarkan bangsa-bangsa itu tinggal, bahkan melakukan kawin campur. Akibatnya, Israel mulai terbawa untuk menyembah ilah-ilah asing. Malaikat TUHAN menampakkan diri di Bokhim dan menegur bangsa itu atas ketidaktaatan mereka, menubuatkan bahwa bangsa-bangsa ini akan menjadi duri dalam daging bagi Israel. Generasi baru pun bangkit, generasi yang "tidak mengenal TUHAN ataupun perbuatan yang telah dilakukan-Nya untuk orang Israel."
Bagian Tengah: Era Para Hakim (Pasal 3-16)
Di tengah siklus kemurtadan ini, Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya dengan membangkitkan para hakim.
Otniel (Hakim Pertama): Ketika Israel ditindas oleh Kusyan-Risyataim, raja Aram, mereka berseru kepada Tuhan. Tuhan membangkitkan Otniel, keponakan Kaleb, yang berhasil mengalahkan raja Aram dan memberikan Israel kedamaian selama 40 tahun.
Ehud (Si Tangan Kiri): Setelah Otniel wafat, Israel kembali berbuat jahat dan ditindas oleh Eglon, raja Moab yang sangat gemuk. Tuhan membangkitkan Ehud, seorang kidal dari suku Benyamin. Dengan tipu muslihat, Ehud menghadap Raja Eglon sendirian dan menikamnya dengan pedang di perutnya hingga tewas. Ehud kemudian memimpin Israel mengalahkan bangsa Moab dan mendatangkan kedamaian selama 80 tahun. Setelahnya, Samgar juga disebut secara singkat karena membunuh 600 orang Filistin dengan tongkat penghalau lembu.
Debora dan Barak (Duet Kemenangan): Israel kembali jatuh dalam dosa dan ditindas oleh Yabin, raja Kanaan di Hazor, dengan panglima perangnya yang kejam, Sisera, yang memiliki 900 kereta besi. Tuhan membangkitkan Debora, seorang nabiah yang menjadi hakim bagi Israel. Ia memanggil Barak untuk memimpin pasukan, namun Barak ragu dan hanya mau maju jika Debora menyertainya. Debora setuju, tetapi menubuatkan bahwa kehormatan mengalahkan Sisera akan jatuh ke tangan seorang perempuan. Tuhan mengacaukan pasukan Sisera, yang melarikan diri dan bersembunyi di kemah Yael, istri Heber, orang Keni. Yael memberinya susu, dan saat Sisera tertidur lelap, Yael mengambil patok kemah dan membunuhnya dengan memakukannya ke pelipisnya. Kemenangan ini dirayakan dengan nyanyian Debora dan Barak.
Gideon (Pahlawan yang Ragu): Penindasan berikutnya datang dari bangsa Midian yang begitu banyak hingga seperti belalang, merampas semua hasil panen Israel. Israel menjadi sangat miskin. Tuhan memanggil Gideon yang saat itu sedang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur karena takut. Gideon adalah orang yang sangat peragu, ia meminta banyak tanda dari Tuhan, termasuk yang terkenal dengan bulu domba yang basah saat tanah kering dan sebaliknya. Tuhan memperkecil pasukan Gideon dari 32.000 orang menjadi hanya 300 orang agar Israel tahu kemenangan datang dari Tuhan, bukan kekuatan mereka. Dengan bersenjatakan sangkakala, buyung kosong, dan obor, 300 orang itu mengepung perkemahan Midian di malam hari, menciptakan kepanikan luar biasa yang membuat orang Midian saling bunuh. Setelah kemenangan besar ini, Gideon menolak saat diangkat menjadi raja, namun ia membuat kesalahan fatal dengan membuat efod dari emas rampasan yang kemudian disembah oleh Israel. Salah satu anak Gideon, Abimelekh, yang lahir dari seorang gundik, memiliki ambisi menjadi raja. Ia membunuh 70 saudara tirinya dan mengangkat diri menjadi raja di Sikhem. Namun, pemerintahannya yang kejam berakhir tragis ketika ia dibunuh oleh seorang perempuan yang menjatuhkan batu kilangan ke atas kepalanya.
Yefta (Nazar yang Tragis): Israel kembali ditindas, kali ini oleh bani Amon. Para tua-tua Gilead mencari Yefta, seorang pahlawan perkasa yang sebelumnya diusir karena ia anak seorang perempuan sundal. Yefta setuju memimpin mereka dengan syarat ia akan menjadi kepala atas mereka setelah menang. Sebelum berperang, Yefta bernazar kepada Tuhan, "Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat... akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." Yefta menang, namun saat ia pulang, yang pertama kali keluar menyambutnya adalah anak perempuannya satu-satunya. Dengan hati hancur, Yefta menepati nazarnya.
Simson (Kekuatan dan Kelemahan): Hakim yang paling terkenal, Simson, dipilih sejak dalam kandungan untuk menjadi seorang nazir Allah, dipisahkan untuk Tuhan. Kekuatan fisiknya yang luar biasa berasal dari Roh Tuhan yang hinggap padanya, dilambangkan dengan rambutnya yang panjang. Misinya adalah memulai pembebasan dari tangan orang Filistin. Namun, seluruh hidup Simson diwarnai oleh kelemahannya terhadap perempuan Filistin dan nafsu pribadinya. Ia menikah dengan perempuan dari Timna, yang memicu serangkaian konflik dengan orang Filistin, termasuk teka-teki pernikahannya, aksinya membakar ladang gandum dengan 300 ekor anjing hutan, dan membunuh 1.000 orang dengan tulang rahang keledai. Kejatuhan terbesarnya datang melalui Delila, yang dibujuk oleh para pemimpin Filistin untuk menemukan rahasia kekuatan Simson. Setelah tiga kali gagal, Delila akhirnya berhasil membuat Simson mengaku bahwa kekuatannya terletak pada rambutnya. Saat ia tertidur, rambutnya dicukur, kekuatannya hilang, dan ia ditangkap, dicungkil matanya, dan dipaksa bekerja sebagai penggiling di penjara. Pada akhir hidupnya, dalam sebuah perayaan besar di kuil dewa Dagon, rambut Simson telah tumbuh kembali. Ia berdoa kepada Tuhan untuk kekuatan terakhir kalinya, lalu merobohkan tiang-tiang utama kuil, menewaskan ribuan orang Filistin, "sehingga yang mati dibunuhnya pada waktu matinya itu lebih banyak dari yang dibunuhnya pada waktu hidupnya."
Bagian Akhir: Kemerosotan Moral dan Spiritual (Pasal 17-21)
Dua kisah terakhir dalam kitab ini tidak menampilkan seorang hakim, melainkan berfungsi sebagai potret mengerikan tentang betapa dalamnya kerusakan moral dan spiritual Israel ketika mereka hidup tanpa kepemimpinan yang benar.
Penyembahan Berhala Mikha dan Suku Dan: Seorang bernama Mikha membuat patung berhala dan mengangkat salah seorang anaknya menjadi imam. Kemudian ia menyewa seorang Lewi untuk menjadi imam pribadinya. Tak lama kemudian, mata-mata dari suku Dan yang sedang mencari wilayah baru menemukan tempat Mikha. Mereka kembali dengan pasukan, merampok patung-patung berhala itu, dan membujuk sang imam Lewi untuk ikut dengan mereka. Mereka kemudian mendirikan pusat penyembahan berhala mereka sendiri di kota Lais (yang mereka ganti namanya menjadi Dan), menunjukkan bagaimana penyembahan berhala telah terinstitusionalisasi di Israel.
Kejahatan di Gibea dan Perang Saudara: Ini adalah kisah paling kelam. Seorang Lewi dan gundiknya (selirnya) bermalam di kota Gibea, wilayah suku Benyamin. Di malam hari, orang-orang dursila di kota itu mengepung rumah dan menuntut untuk menyetubuhi sang Lewi. Untuk menyelamatkan diri, ia menyerahkan gundiknya, yang kemudian diperkosa secara brutal sepanjang malam hingga mati. Pagi harinya, sang Lewi menemukan mayat gundiknya, memotongnya menjadi dua belas bagian, dan mengirimkannya ke seluruh wilayah Israel sebagai panggilan untuk bertindak. Hal ini memicu perang saudara yang mengerikan. Suku-suku Israel lainnya bersatu untuk menghukum suku Benyamin, yang menolak menyerahkan para pelaku. Akibatnya, hampir seluruh suku Benyamin dimusnahkan.
Kitab ini ditutup dengan upaya suku-suku lain untuk menyelamatkan suku Benyamin dari kepunahan, namun dengan cara-cara yang penuh kekerasan dan kompromi. Akhir cerita ini menggarisbawahi pesan utama kitab ini: tanpa Tuhan sebagai Raja mereka, Israel jatuh ke dalam kekacauan dan kehancuran moral yang tak terkendali. Kesimpulan yang merangkum seluruh era yang kacau ini: "Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri."
Kitab 1 Tawarikh ditulis setelah kembalinya bangsa Israel dari pembuangan, berfungsi untuk meneguhkan identitas dan harapan mereka. Fokus utama adalah garis keturunan yang sah, penggambaran Daud sebagai raja ideal, dan pentingnya pembangunan Bait Suci. Silsilah yang panjang menegaskan identitas bangsa, sementara narasi tentang pemerintahan Daud menunjukkan persatuan dan ibadah yang benar sebagai dasar harapan bagi masa depan Israel.
Kitab 1 Samuel mencatat transisi dari kepemimpinan hakim ke monarki di Israel, berfokus pada tokoh-tokoh utama seperti Samuel, Saul, dan Daud. Samuel, sebagai nabi dan hakim terakhir, memimpin Israel melawan Filistin. Saul, raja pertama, ditolak Tuhan karena ketidaktaatan, sementara Daud, yang diurapi sebagai raja baru, menghadapi berbagai tantangan dan pengkhianatan sebelum Saul tewas dalam pertempuran, membuka jalan bagi Daud untuk naik takhta.
Kitab 1 Raja-Raja mencatat sejarah Israel dari pemerintahan Raja Daud hingga pelayanan Nabi Elia, menggambarkan kemegahan dan perpecahan kerajaan. Raja Salomo memimpin Israel ke puncak kejayaan dengan membangun Bait Suci, tetapi ketidaktaatannya menyebabkan kemarahan Tuhan dan perpecahan kerajaan setelah kematiannya. Kerajaan terpecah menjadi Israel dan Yehuda, dengan konflik dan kemerosotan rohani yang mendominasi. Nabi Elia muncul untuk menantang penyembahan Baal yang dipromosikan oleh Raja Ahab dan Izebel, culminating in a dramatic confrontation on Mount Carmel.