Dalam perjalanan menelusuri Katekismus Gereja Katolik, kita tiba di pertanyaan paling purba dan paling fundamental yang pernah diajukan manusia: Siapa itu Allah?
Dalam perjalanan menelusuri Katekismus Gereja Katolik, kita tiba di pertanyaan paling purba dan paling fundamental yang pernah diajukan manusia: Siapa itu Allah?
Sering kali, gambaran kita tentang Allah terdistorsi oleh pengalaman pribadi atau budaya populer. Ada yang membayangkan-Nya sebagai hakim yang galak di atas awan, ada pula yang melihat-Nya sekadar sebagai "energi" kosmik yang jauh. Namun, Katekismus mengajak kita untuk melihat Allah sebagaimana Ia mewahyukan Diri-Nya sendiri—sebuah pemahaman yang melampaui imajinasi manusiawi.
1. "Aku Percaya akan Satu Allah"
Kalimat pertama dalam Syahadat (Credo) adalah fondasi dari segalanya: "Aku percaya akan satu Allah."
Katekismus (KGK 200-202) menegaskan bahwa pengakuan akan keesaan Allah adalah akar dari iman kita. Ini bukan sekadar matematika (satu vs banyak), melainkan tentang hakikat. Allah itu Esa. Iman Katolik menolak politeisme (banyak dewa). Kita mengimani Allah yang mewahyukan diri kepada Israel sebagai "Satu-satunya Tuhan."
Namun, keesaan ini bukanlah kesendirian yang sunyi. Allah Katolik adalah kesatuan yang sempurna dalam kasih, yang nantinya akan kita kenal sebagai misteri Tritunggal.
2. Nama yang Penuh Misteri: "AKU ADALAH AKU"
Siapa nama Allah? Ketika Musa bertanya di depan semak belukar yang menyala (Keluaran 3:13-15), jawaban yang ia terima sangatlah misterius: "AKU ADALAH AKU" (YHWH).
Nama ini bukan sekadar label. Dalam KGK 203-213 dijelaskan bahwa nama ini mengungkapkan esensi Allah:
Dia adalah Keberadaan itu sendiri. Allah tidak "diciptakan" dan tidak bergantung pada apa pun. Dia adalah sumber dari segala yang ada.
Dia adalah Allah yang Setia. Nama ini menunjukkan kehadiran yang tetap. Dia adalah Allah yang selalu "ada" bagi umat-Nya, dulu, sekarang, dan selamanya.
Dia adalah Kebenaran dan Cinta. (KGK 214-221). Allah tidak bisa menipu dan tidak bisa ditipu. Dia adalah terang di mana tidak ada kegelapan. Lebih dari itu, hakikat terdalam-Nya adalah Kasih (1 Yohanes 4:8).
3. Allah Bapa yang Mahakuasa
Dalam Syahadat, kita menyapa Allah sebagai "Bapa." Ini adalah revolusi dalam cara manusia berelasi dengan Pencipta.
Bukan Sekadar Gender: Menyebut Allah sebagai "Bapa" tidak berarti Allah adalah laki-laki. Katekismus (KGK 239) mengingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin manusia. Dia bukan pria, bukan wanita. Dia adalah Allah. Namun, gambaran "Bapa" menunjukkan dua hal: asal-usul segala sesuatu dan kebaikan serta kepedulian yang penuh kasih kepada anak-anak-Nya.
Transendensi dan Imanensi: Allah itu "Mahakuasa" dan jauh melampaui kita (transenden), tetapi sebagai "Bapa", Dia juga sangat dekat dan intim dengan kita (imanen).
4. Konsekuensi Mempercayai Satu Allah
Apa dampaknya bagi hidup kita jika kita sungguh percaya pada Allah yang demikian? Katekismus (KGK 222-227) memberikan implikasi praktis yang sangat indah:
Mengenal Kebesaran Allah: Kita jadi sadar bahwa kita kecil, namun dikasihi. Ini melahirkan kerendahan hati.
Hidup dalam Syukur: Jika segalanya berasal dari Dia, maka seluruh hidup kita adalah alasan untuk berterima kasih.
Menghormati Martabat Manusia: Karena setiap orang diciptakan menurut citra Allah yang Esa, maka setiap manusia—tanpa kecuali—memiliki martabat yang mulia.
Menggunakan Benda Ciptaan dengan Benar: Kita tidak mendewakan uang, kuasa, atau benda, karena kita tahu hanya Allah-lah tujuan akhir kita.
Percaya di Tengah Kesulitan: Keyakinan bahwa Allah itu baik dan berkuasa memberi kita kekuatan dan ketenangan batin, bahkan di saat situasi tampak suram.
Penutup: Sebuah Undangan Relasi
Memahami "Siapa itu Allah" menurut Katekismus bukanlah tentang menghafal definisi teologis yang rumit. Ini adalah undangan untuk masuk ke dalam relasi. Allah bukan konsep abstrak; Dia adalah Bapa yang hidup, yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, yang setia menyertai ("AKU ADA"), dan yang pada hakikat-Nya adalah Kasih itu sendiri.
Mengenal-Nya adalah langkah pertama untuk mencintai-Nya.
Di episode berikutnya, kita akan melangkah lebih dalam ke misteri terbesar iman Kristen: Jika Allah itu Satu, mengapa kita menyebut Bapa, Putra, dan Roh Kudus? Nantikan pembahasan tentang Misteri Tritunggal.
I'm a passionate blogger and content creator. I'm driven by a desire to share my knowledge and experiences with others, and I'm always looking for new ways to engage with my readers
Kisah Para Rasul adalah kitab dalam Perjanjian Baru yang menceritakan sejarah gereja Kristen awal setelah kenaikan Yesus ke surga, dengan fokus pada penyebaran Injil dari Yerusalem hingga ke Roma. Kitab ini, yang diperkirakan ditulis oleh Lukas, menggambarkan peran para rasul dan pengikut Yesus yang dipimpin oleh Roh Kudus dalam mendirikan, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran Kristus ke berbagai bangsa dan wilayah.
Jika ada satu konsep dalam iman Kristen yang paling sering disalahpahami—bahkan oleh umat sendiri—itu adalah konsep Tritunggal Mahakudus. Sering kali terdengar pertanyaan skeptis: "Bagaimana mungkin 1 + 1 + 1 = 1?" atau "Apakah orang Kristen menyembah tiga Tuhan?"